Kamis, 26 Desember 2013

Merasakan Tragedi Amarah Laut dalam Museum

Museum bukan hanya penampil tinggalan masa lalu. Museum juga harus bisa membawa kita kembali ke waktu saat sejarah tercipta.

Museum Tsunami Aceh dibangun dengan konsep demikian. Bila kita berkunjung ke museum yang lokasinya berhadapan dengan Lapangan Blang Padang ini, setiap ruang memiliki makna filosofi akan tragedi amarah lautan yang meluluhlantakkan Aceh, 26 Desember 2004 lalu.
 

Bangunan itu terpacak megah pada lahan seluas satu hektar. Dari sudut jauh Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, sekilas tampak seperti perahu lengkap dengan cerobong asapnya. Dinding seperti anyaman bambu. Mendekat dan masuk ke dalamnya, tiang-tiang kokoh menopang bangunan seperti konsep rumah tradisional Aceh.

Gedung itu dibangun oleh prakarsa beberapa lembaga. Di antaranya adalah Badan Rekontruksi dan Aceh-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Daerah Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh, dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Model bangunnya sesuai dengan rancangan pemenang dalam sayembara, M. Ridwan Kamil, dosen arsitektur Institute Teknologi Bandung (ITB) dengan ide bangunan; Rumoh Aceh as Escape Hill. 

Desainnya, lantai pertama museum merupakan ruang terbuka, sebagaimana rumah tradisional orang Aceh. Selain dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik, jika terjadi banjir atau tsunami lagi, maka air yang datang tidak akan terhalangi lajunya. Tak hanya itu, unsur tradisional lainnya berupa seni Tari Saman diterjemahkan dalam kulit luar bangunan eksterior. Sedangkan denah bangunan merupakan analogi dari epicenter sebuah gelombang laut tsunami.

Tampilan eksterior museum mengekspresikan keberagaman budaya Aceh melalui pemakaia ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar bangunan, seperti anyaman bambu. Sedangkan tampilan interiornya mengetengahkan sebuah tunnel of sorrow yang menggiring pengunjung ke suatu perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu.


Space of Fear
 

Masuk ke dalam, pengunjung disuguhkan dengan sebuah lorong sempit yang agak remang sepanjang 30 meter. Di sini kita bisa melihat air terjun di sisi kiri dan kanannya yang mengeluarkan suara gemuruh air.

Dari sisi kanan kiri dinding, air mengucur pelan. Memericik basah hingga lintasan jalan. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Alquran.

Inilah lorong tsunami space of fear, yang menggambarkan saat terjadinya tsunami. Sempit, cahayanya gelap, ada gemuruh air. Tinggi dindingnya sekitar 19-23 meter melambangkan ketinggian air sewaktu tsunami di Aceh.


Memorial Hall


Setelah lorong tsunami, ruang berikutnya menampilkan 26 layar display elektronik selebar 17 inci. Bentuknya bagai bebatuan yang berdiri berundak-undak. Dari monitornya muncul 40 lembar foto saat terjadinya tsunami. Foto-foto itu tampil bergantian berselang beberapa detik.

 Suasana gelap. Kanan kiri cermin memantul bayangan. Dari langit-langit ruangan, remang cahaya masuk lewat kaca kolam. Ternyata ruangan ini berada tepat di bawah kolam ikan di pelataran gedung.

Ruangan ini menggambarkan seolah-olah pengunjung di dalam lautan. Cermin yang membentang disisi ruangan, menggambarkan luasnya jangkauan air saat tsunami. Cahaya yang masuk dari celah kaca kolam, mendeskripsikan minimnya cahaya yang masuk kedalam air.


The Light of God
 

Ruang yang berbentuk sumur silinder ini menyorotkan cahaya ke atas sebuah lubang dengan tulisan arab, "Allah". Dari luar jauh, akan terlihat seperti cerobong. Ini menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan, sang pencipta. Dari sumur doa inilah, ternyata lantunan ayat suci Alquran mengalun dan  memantul hingga ke lorong tsunami tadi.
 
Di dinding lorong terdapat lebih 2000 nama korban tsunami. Nama-nama ini diperoleh dari Palang Merah Indonesia.


Space of Confuse
 

Untuk menuju lantai teratas dan ruang museum lainnya, kita harus melewati lintasan jalan melingkar di sisi sumur doa. Lintasan ini disebut space of confuse. Lantainya tak rata, bergelombang. Besi panjang melingkar di dinding sebagai pegangan. Cahaya yang minim membuat kesulitan untuk berjalan.

Kesulitan dan kebingungan inilah yang digambarkan dalam lintasan ini. Kebingungan masyarakat Aceh akan tujuan hidup, kehilangan sanak keluarga, juga kebingungan hilangnya harta benda. Kebingungan ini berakhir diujung lorong. Perlahan cahaya terang mulai tampak, lintasan terasa lebih rata. Di ujung sana jembatan kayu terbentang di tengah kolam.

Jembatan ini melambangkan harapan untuk bangkit kembali. Karenanya disebut juga "Jembatan Harapan".

Jembatan sepanjang 15 meter ini melintang menuju area ruang pameran. Ada sekitar 55 bendera berbagai negara terpampang. 55 negara itu turut andil membantu tahap rekonstruksi Aceh dan membantu perdamaian Aceh.

Hadirnya 55 negara yang membantu Aceh, juga dilambangkan dengan bulatan bebatuan yang berada di tepi kolam ikan. Di setiap bendera dan batu, bertuliskan kata �damai� dalam bahasa masing-masing negara.
















Sumber:
ferhatt
tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar